Friday, February 18, 2011

Islam Menjawab Ahmadiyah

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, permainan media sangat canggih bisa menjadi fitnah bagi umat Islam

Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh Ahmadiyah dan pendukungnya – yang biasanya mengaku bukan pengikut Ahmadiyah – sering mengangkat ”logika persamaan”. Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari Islam, karena banyak persamaannya. Al-Quran-nya sama, syahadatnya sama, shalatnya sama, dan hal-hal yang sama lainnya. Maka, kata mereka, demi keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui saja sebagai bagian dari Islam.

Benarkah logika semacam ini?

Penyair dan cendekiawan Muslim terkenal asal Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal (1873-1938), pernah menulis sebuah buku berjudul ”Islam and Ahmadism” (Tahun 1991 di-Indonesiakan oleh Makhnun Husein dengan judul ”Islam dan Ahmadiyah”. Terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad bahwa dia adalah nabi dan penerima wahyu, Iqbal mencatat: ”Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir.”

Lebih jauh Iqbal menyatakan: ”Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang secara historik timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai landasannya dan menyatakan semua ummat Muslim yang tidak mengakui kebenaran wahyunya itu sebagai orang-orang kafir, sudah semestinya dianggap oleh setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu memang sudah semestinya, karena integritas ummat Islam dijamin oleh Gagasan Kenabian Terakhir (Khatamun Nabiyyin) itu sendiri.”

Dalam menilai Ahmadiyah, Iqbal tidak terjebak kepada retorika logika persamaan. Iqbal mengacu pada inti persoalan, bahwa Ahmadiyah berbeda dengan Islam, sehingga dengan tegas ia menulis judul bukunya, Islam and Ahmadism. Titik pokok perbedaan utama antara Islam dan Ahmadiyah adalah pada status kenabian Mirza Ghulam Ahmad; apakah dia nabi atau bukan? Itulah pokok persoalannya.

Umat Islam yakin, setelah nabi Muhammad saw, tidak ada lagi manusia yang diangkat oleh Allah sebagai nabi dan mendapatkan wahyu. Tidak ada! Secara tegas, utusan Allah itu sendiri (Muhamamd saw) yang menegaskan:

”Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahku.” (HR Abu Dawud).

Jadi, umat Islam yakin, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu setelah nabi Muhammad saw – apakah Musailamah al-Kazzab, Lia Eden, atau Mirza Ghulam Ahmad – pasti bohong. Itu pasti!

Inilah keyakinan Islam. Karena itu, pada 7 September 1974, Majelis Nasional Pakistan menetapkan dalam Konstitusi Pakistan, bahwa semua orang yang tidak percaya kepada Nabi Terakhir Muhammad secara mutlak dan tanpa syarat telah keluar dari kelompok umat Islam.

Sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah sebenarnya juga dilakukan berbagai agama lain. Protestan harus menjadi agama baru karena menolak otoritas Gereja Katolik dalam penafsiran Bibel, meskipun antara kedua agama ini banyak sekali persamaannya. Tahun 2007, sebagian umat Hindu di Bali membentuk agama baru bernama agama Hindu Bali, yang berbeda dengan Hindu lainnya. Agama Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan. Bibel Yahudi juga dipakai oleh kaum Kristen sebagai kitab suci mereka (Perjanjian Lama). Tapi, karena Yahudi menolak posisi Yesus sebagai juru selamat, maka keduanya menjadi agama yang berbeda.

Logika persamaan harus diikuti dengan logika perbedaan, sebab ”sesuatu” menjadi ”dirinya” justru karena adanya perbedaan dengan yang lain. Meskipun banyak persamaannya, manusia dan monyet tetap dua spesies yang berbeda. Akal-lah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan monyet. Setampan apa pun seekor monyet, dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia.

Jika umat Islam bersikap tegas dalam soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pihak Ahmadiyah juga bersikap senada. Siapa pun yang tidak beriman kepada kenabian Ghulam Ahmad, dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah.
Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah – menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, dan pada tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul ”Invitation to Ahmadiyyat”.

Para pendukung Ahmadiyah – dari kalangan non-Ahmadiyah – baiknya membaca buku ini, sebelum bicara kepada masyarakat tentang Ahmadiyah.
Ditegaskan di sini: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377).
Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Masih al-Mau’ud mewajibkan umat Islam untuk mengimaninya. Kata Bashiruddin Mahmud Ahmad: ”Kami sungguh mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk menyongsong dengan baik utusan Allah Ta’ala yang datang guna menzahirkan kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan mendatangkan keberkatan.” (hal. 372).
Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad – yang oleh kaum Ahmadiyah juga diberi gelar r.a. (radhiyallahu ’anhu), setingkat para nabi -- bukti-bukti kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua nabi selain Nabi Muhammad saw. Sehingga, kata dia: ”Apabila iman bukan semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari kedua hal yaitu mengingkari semua nabi atau menerima pengakuan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.” (hal. 372).

Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: iman kepada Ghulam Ahmad atau ingkar kepada semua nabi? Bandingkan logika kaum Ahmadiyah ini dengan ultimatum Presiden George W. Bush: ”You are with us or with the terrorists”. Oleh Ahmadiyah, umat Islam dipojokkan pada posisi yang tidak ada pilihan lain kecuali memilih beriman kepada para nabi dan menolak klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Masih belum puas! Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374)
.
Jadi, begitulah pandangan dan sikap resmi Ahmadiyah terhadap Islam dan umat Islam. Dan itu tidak aneh, sebab Mirza Ghulam Ahmad sendiri mengaku pernah mendapat wahyu seperti ini: Anta imaamun mubaarakun, la’natullahi ‘alalladzii kafara (Kamu – Mirza Ghulam Ahmad – adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar/Tadzkirah hal. 749).
Ada lagi wahyu versi dia: “Anta minniy bimanzilati waladiy, anta minniy bimanzilatin laa ya’lamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk/Tadzkirah, hal. 236).

Itulah Ahmadiyah, yang katanya bersemboyan: ”Love for all. Hatred for None”. Namanya juga slogan! Zionis Israel pun juga mengusung slogan ”menebar perdamaian, memerangi terorisme”.

Kaum Ahmadiyah pun terus-menerus menteror kaum Muslim dengan penyebaran pahamnya.

Dalam Surat Edaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 25 Ihsan 1362/25 Juni 1983 M, No. 583/DP83, perihal Petunjuk-petunjuk Huzur tentang Tabligh dan Tarbiyah Jama’ah, dinyatakan:
“Harus dicari pendekatan langsung dalam pertablighan. Hendaknya diberitahukan dengan tegas dan jelas bahwa sekarang dunia tidak dapat selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia akan terpaksa menerima Pimpinan Ahmadiyah. Tanpa Ahmadiyah dunia akan dihimpit oleh musibah dan kesusahan dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah, tentu akan mengalami kehancuran.”

Umat Islam sangat cinta damai. Tetapi, umat Islam tentunya lebih cinta kepada kebenaran.

Demi cintanya kepada kebenaran dan juga pada ayahnya, maka Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada ayahnya, “Aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata!”

Nabi Ibrahim a.s. dan semua Nabi adalah para pecinta perdamaian. Rasulullah saw juga pecinta damai. Tetapi, dalam masalah aqidah, kebenaran lebih diutamakan. Nabi Ibrahim harus mengorbankan kehidupannya yang harmonis dengan keluarga dan kaumnya, karena beliau menegakkan kalimah tauhid. Beliau menentang praktik penyembahan berhala oleh kaumnya, meskipun beliau harus dihukum dan diusir dari negerinya.

Dalam kasus Nabi palsu, misalnya, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam.
Masalah aqidah, masalah iman, inilah yang jarang dipahami, atau sengaja diketepikan dalam berbagai diskusi tentang Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah eksis 

Berbagai kelompok yang mendukung Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya sudah sangat keterlaluan, karena mencoba untuk menafikan masalah iman ini. Bahkan tindakan-tindakan mereka – apalagi yang mengatasnamakan Islam dan menggunakan dalil-dalil Al-Quran -- lebih merusak Islam ketimbang Ahmadiyah itu sendiri.

Umat Islam Indonesia memang sedang menghadapi ujian berat. Hal-hal yang jelas-jelas bathil malah dipromosikan. Lihatlah TV-TV kita saat ini, begitu gencarnya menyiarkan aksi-aksi kaum homo dan lesbi, seolah-olah mereka tidak takut pada azab Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Luth.

Bahkan, para aktivis Liberal seperti Guntur Romli, pada salah satu tulisannya di Jurnal Perempuan, dengan sangat beraninya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga akhirnya menghalalkan perkimpoian sesama jenis.

Aktivis liberal yang satu ini juga sudah sangat keterlaluan dalam menghina Al-Quran. Dia menulis dalam salah satu artikelnya (Koran Tempo, 4 Mei 2007), yang berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” bahwa:
“Al-Quran adalah “suntingan” dari “kitab-kitab”
sebelumnya, yang disesuaikan dengan “kepentingan penyuntingnya”. Al-Quran tidak bisa melintasi “konteks” dan “sejarah”, karena ia adalah “wahyu” budaya dan sejarah.”

Kita juga tidak mudah memahami pemikiran dan kiprah tokoh liberal lain seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, yang begitu beraninya membuat-buat hukum baru yang menghalalkan perkimpoian muslimah dengan laki-laki non-Muslim dan perkimpoian manusia sesama jenis.

Meskipun sudah mendapat kritikan dari berbagai pihak, tetap saja dia tidak peduli. Bahkan, di Jurnal Perempuan edisi khusus tentang Seksualitas Lesbian, dia memberikan wawancara yang sangat panjang. Judul wawancara itu pun sangat provokatif: “Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia.”

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, karena permainan media yang yang sangat canggih, berbagai fitnah dapat menimpa umat Islam.

Orang-orang yang jelas-jelas merusak Islam ditampilkan sebagai pahlawan kemanusiaan. Sedangkan yang membela Islam tidak jarang justru dicitrakan sebagai “penjahat” kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, disamping terus-menerus berusaha menjelaskan, mana yang haq dan mana yang bathil, kita juga diwajibkan untuk berserah diri kepada Allah SWT. Kita yakin, dan tidak pernah berputus asa, bahwa Allah adalah hakim Yang Maha Adil.


sumber : kaskus

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons